Beranda | Artikel
Sebuah Perjalanan
Minggu, 26 Juni 2016

Hidup adalah perjalanan waktu demi waktu, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Hidup tidak hanya menyembulkan kesenangan dan kegembiraan. Ada kalanya hidup harus menyembulkan kesedihan dan kesusahan. Inilah kehidupan di alam dunia.

Para nabi dan rasul -manusia-manusia pilihan Allah- pun tidak lepas dari kesusahan dan tekanan. Bahkan mereka harus mendapatkan ejekan, celaan dan perlawanan keras dari orang-orang yang menolak kebenaran. Para rasul pun menghadapi segala cobaan dan rintangan itu dengan penuh kesabaran dan selalu mengharap pahala dari Allah. Sebagaimana pernah disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa orang yang paling berat cobaannya adalah para nabi.

Cobaan demi cobaan menimpa mereka dan mereka menghadapinya dengan penuh keimanan. Sebagaimana telah diterangkan para ulama, bahwa iman itu terdiri dari dua bagian; sabar dan syukur. Sabar dibutuhkan ketika berbagai musibah dan cobaan menimpa seorang insan. Syukur dibutuhkan ketika sekian banyak nikmat tercurah kepadanya. Sabar itu bagi keimanan seperti kepala bagi seluruh anggota badan. Sabar bukan hanya ketika terkena musibah, tetapi sabar juga dituntut ketika menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Oleh karena itulah para ulama menyebutkan ada tiga ciri kebahagiaan seorang hamba; yaitu apabila diberi nikmat maka dia bersyukur, apabila ditimpa musibah maka dia bersabar, dan apabila berbuat dosa maka dia beristighfar. Semakin sempurna tauhid dan iman seorang hamba maka semakin besar pula kedudukan ketiga perkara ini di dalam hatinya. Sabar, syukur, dan istighfar harus berakar dari dalam hati. Keimanan yang tertancap kuat dalam sanubari dan diwujudkan dengan amalan.

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman itu adalah apa-apa yang tertancap di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.”  

Keimanan terdiri dari pembenaran dan keyakinan hati, ucapan dengan lisan dan amal dengan segenap anggota badan. Iman semakin kuat dengan ketaatan dan amal kebaikan, dan sebaliknya ia menjadi lemah dan berkurang akibat maksiat dan keburukan. Pokok keimanan itu adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir, sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Iman kepada Allah mencakup iman tentang keberadaan Allah dan keesaan-Nya dalam mencipta, menguasai alam semesta dan mengaturnya serta meyakini bahwa hanya Allah sesembahan yang benar, dan Allah memiliki nama-nama terindah dan sifat-sifat yang sempurna. Iman kepada Allah ini juga biasa disebut dengan istilah tauhid. Tauhid yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Tauhid inilah tujuan penciptaan setiap jin dan manusia.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Para ulama menafsirkan bahwa beribadah kepada Allah maksudnya adalah dengan mentauhidkan-Nya. Karena ibadah tidaklah benar kecuali apabila disertai dengan tauhid. Oleh sebab itu perintah beribadah kepada Allah disertai dengan larangan beribadah kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Kehidupan ini adalah perjalanan untuk membuktikan siapakah orang yang benar-benar menghamba kepada Allah dengan ikhlas dan menundukkan akal, hawa nafsu dan perasaannya kepada ketetapan dan aturan Allah. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Yang telah menciptakan kalian untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Yang dimaksud terbaik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas jika orang itu melakukan amal karena Allah, sedangkan benar adalah apabila sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidaklah diterima tanpa kedua syarat ini.

Karena itulah perintah untuk beramal salih pun selalu disertai dengan larangan berbuat syirik. Sebab syirik adalah perusak amalan dan penghapus amal kebaikan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Para ulama tafsir menyebutkan, bahwa maksud ayat ini adalah larangan beramal karena riya’; yaitu ingin dilihat dan mendapatkan pujian orang atas amalnya.

Kehidupan ini adalah perjalanan yang menuntut keikhlasan dan kesetiaan kepada tuntunan. Ikhlas mempersembahkan amal kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan untuk-Nya agama/amal dengan hanif…” (al-Bayyinah : 5). Amalan harus ikhlas untuk Allah dan bersih dari syirik.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan bersama-Ku di dalamnya sesembahan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Hidup ini adalah perjalanan yang membutuhkan petunjuk dan bimbingan dari Allah Rabb seru sekalian alam. Oleh sebab itu setiap hari kita berdoa memohon petunjuk kepada Allah dalam setiap raka’at sholat yang kita kerjakan. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa besarnya kebutuhan manusia kepada ilmu dan hidayah dari Allah. Kebutuhan mereka kepadanya jauh lebih besar daripada kebutuhan kepada makanan, minuman, bahkan air dan udara. Sebab hidupnya hati adalah dengan iman, dzikir dan ketaatan. Adapun tanpa iman, tanpa dzikir, dan tanpa ketaatan maka manusia akan menjadi lebih rendah daripada binatang!

Sa’id bin Jubair rahimahullah menjelaskan bahwa hakikat dzikir adalah selalu taat kepada Allah. Maka barangsiapa yang taat kepada-Nya itu artinya dia telah ingat kepada Allah. Dan barangsiapa tidak mau taat kepada Allah maka dia bukanlah orang yang berdzikir kepada-Nya, walaupun ia banyak membaca tasbih, tahlil dan tilawah al-Qur’an.

Dzikir itu menjadi sumber kehidupan hati dan ketenangan jiwa. Sebagaimana dzikir menjadi sebab kuatnya iman seorang hamba. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Maka bagaimanakah keadaan ikan apabila memisahkan diri dari air?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Dzikir yang paling utama adalah yang bersesuaian antara apa yang diucapkan dengan lisan dengan apa yang ada di dalam hati. Kalimat dzikir yang paling utama adalah laa ilaha illallah. Hal itu apabila kalimat laa ilaha illallah ini benar-benar ikhlas muncul dari dalam hati dan jujur dari dalam jiwanya. Tidak sebagaimana keadaan orang-orang munafik yang mengucapkan dengan lisannya apa-apa yang tidak ada di dalam hatinya. Oleh sebab itu mereka berada di dalam kerak neraka yang paling bawah. Disebabkan hilangnya pilar keikhlasan dan kejujuran dari dalam dirinya. Tidak ada yang bisa memetik manfaat dari kalimat syahadat ini kecuali yang mengucapkannya ikhlas dan jujur dari dalam hatinya. Mereka itulah yang paling berbahagia dengan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat nanti.

Selain berdzikir kepada Allah maka setiap insan juga diwajibkan untuk bersyukur kepada-Nya. Syukur adalah pengakuan di dalam hati bahwa segala nikmat datang dari Allah, memuji-Nya dengan lisan dan menggunakan nikmat itu untuk kebaikan dan ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu hakikat syukur adalah dengan taat kepada pemberi nikmat dan beramal salih. Apabila nikmat itu disyukuri maka ia menjadi lestari. Tetapi jika ia diingkari maka nikmat pun lari.

Nikmat apa saja yang tidak semakin membuat lebih dekat kepada Allah maka itu adalah bencana dan mapaletaka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Hazim rahimahullah, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan dirimu kepada Allah maka itu adalah sumber malapetaka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan manusia terpedaya karenanya yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Hidup ini adalah kumpulan perjalanan waktu dan hari-hari. Setiap hari berlalu maka berlalu pula bagian dari diri seorang insan. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu ini adalah kumpulan hari demi hari. Setiap kali hari berlalu maka pergilah sebagian dari dirimu.”

Maka orang yang paling bahagia ialah yang menggunakan setiap waktu dan keadaan yang dia jumpai sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal yang dicintai dan diridhai-Nya; sesuatu yang mendatangkan manfaat baginya kelak di akhirat dan sebelumnya pasti membuahkan kelezatan hidup di alam dunia. Sebuah kelezatan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa kepada-Nya. Orang yang cinta kepada Allah dan rasul-Nya dan menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Hakikat kelezatan iman itu adalah kelezatan ketika melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah. Meskipun terasa berat tetapi ia membuahkan kemanisan dan keindahan dalam lubuk hatinya; karena hati itu telah tercelup dengan iman dan keikhlasan kepada-Nya.

Kelezatan iman inilah yang banyak luput dari kehidupan manusia yang hidupnya hanya demi mengejar gemerlap dan semuanya kesenangan dunia yang sementara. Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Telah keluar para pemuja dunia dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling lezat di dalamnya.” Beliau menjelaskan, bahwa sesuatu yang paling lezat itu adalah ‘mengenal Allah ‘azza wa jalla, tentram bersama-Nya dan mencintai-Nya’.

Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati dengan iman, dzikir dan ketaatan. Adapun dengan kekafiran, kelalaian dan kemaksiatan maka hati menjadi sakit, menderita bahkan berakhir pada kematiannya; sehingga jasad mereka telah menjadi ‘kuburan’ bagi ruhnya sebelum kematian yang menimpa badannya. Tidak ada yang selamat kecuali orang yang Allah berikan hidayah, taufik dan cahaya menuju iman dan kebenaran yang sejati. Maka bersyukurlah kepada Allah atas nikmat islam dan iman yang masih Allah berikan kepada kita hingga saat ini.

Saudaraku yang dirahmati Allah, generasi pertama umat ini menjadi teladan bagi kita dalam pemurnian ibadah dan amal untuk Allah dan membersihkannya dari segala kotoran yang merusaknya. Mereka unggul dan berjaya karena iman dan tauhid yang terhunjam kuat sebelum buah dan cabang amal salih yang membahana. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, bahwa tidaklah Abu Bakar melampaui para sahabat yang lain karena banyaknya sholat, puasa atau sedekah. Akan tetapi sesungguhnya yang membuatnya lebih mulia adalah karena akar ketakwaannya; yaitu kecintaan kepada Allah yang bersemayam di dalam hatinya dan ketulusan nasihat kepada sesama. Marilah kita periksan diri dan amal-amal kita; karena bisa jadi kita kurang ikhlas dan kurang tulus dalam memberikan nasihat dan peringatan kepada sesama.

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahwasanya kebanyakan orang yang mengajak manusia ke jalan Allah mungkin secara lahiriah berdakwah menuju jalan-Nya; akan tetapi sebenarnya yang dia lakukan itu adalah ingin mengajak manusia untuk mengikuti dan mengagungkan dirinya sendiri. Karena itulah sebuah ibadah yang sangat mulia yaitu jihad menjadi tidak ada harganya apabila kehilangan ikhlas, demikian pula menimba ilmu dan mengajarkannya. Sebagaimana dalam kisah tiga orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat yang kemudian dilemparkan ke dalam api neraka.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/sebuah-perjalanan-2/